Pemikiran Filosofis Ki Hajar Dewantara dalam Pendidikan dan Penerapannya dalam Pembelajaran di Sekolah
Oleh: Yudi Fatriawan - Calon Guru Penggerak Kab. Sumbawa NTB
Kesimpulan dan Penjelasan Mengenai Pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara
Jika kita berbicara mengenai sejarah lahirnya pendidikan di Indonesia, tentu tidak akan lepas dari sosok kuat dan berpengaruh yang melandasi tercetusnya pendidikan merdeka bagi rakyat indonesia. Beliau adalah bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara yang telah memprakarsai kemerdekaan kultural dan intelektual bagi bangsanya. Beliau menuangkan seluruh pemikiran filosofisnya untuk dijadikan rambu dan konsep dalam kegiatan pembelajaran yang humanis dan berkarakter. Pemikiran tersebut juga telah dijadikan sebagai asas pendidikan nasional yang tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Menurut KHD, pendidikan adalah menuntun. Menuntun sang anak menuju kebahagian untuk dirinya dan lingkungan sosial kemasyarakatannya. Menuntun berarti mendampingi dan mengarahkan tanpa memaksakan. Oleh karena itu, pendidik sebagai penuntun haruslah menjadi pamong yang sanggup menjadi teladan di depan sang anak, penyemangat di tengah-tengah mereka dan menjadi pendorong di belakang anak didiknya. Hal tersebut tertuang ke dalam trilogi pendidikan filosofis KHD yang sangat terkenal yakni “Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani”. Semua kita meyakini bahwa teladan akan menumbuhkan karakter yang luhur, motivasi akan menularkan energi positif dan dukungan akan menjadi penggerak dalam mendorong ke arah yang baik. Bahkan lebih lanjut beliau juga menganalogikan pendidik seperti petani yang dengan segala daya upaya merawat dan menjaga benih-benih agar tumbuh baik berdasarkan wujud dan kodratnya masing-masing.
Itulah mengapa pendidik harus mengetahui dan senantiasa memahami apa yang diyakini sebagai kodrat keadaan sang anak. Kodrat anak terkait alam dan zaman mereka akan sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya dalam belajar. Ketika pendidik mengenal kodrat alam peserta didiknya, tentu akan berimplikasi terhadap metode dan strategi pembelajaran yang sangat menghargai keanekaragaman latar belakang serta potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didiknya. Begitu pula dengan memahami kodrat zaman mereka akan menghantarkan para pendidik kepada segala dinamika aktual dari perkembangan zaman. Keselarasan dari kodrat keadaan inilah yang akan menciptakan pembelajaran yang berkeadilan dan merdeka. Merdeka dalam arti memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk menggali potensi yang mereka miliki tanpa tekanan dan paksaan.
KHD juga menggunakan permainan-permainan dalam menciptakan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Karena menurut beliau bermain adalah kodrat lahiriyah dari anak dan di dalam bermain itulah anak-anak akan berkolaborasi dan berinteraksi aktif serta mengekspresikan beragam hal yang berkaitan dengan emosi dan tingkah laku mereka. Maka kegiatan pembelajaran yang mampu menggabungkan antara pengetahuan (cipta), karya (keterampilan) dan karsa (spiritual) akan menjadi pembelajaran berkarakter yang menyenangkan dan akan menjadi pemicu untuk terciptanya semangat belajar yang tinggi pada anak. Untuk memaksimalkan pembelajaran yang menyenangkan dan berpusat pada anak, seyogyanya para pendidik mengedepankan kearifan lokal daerah terkait konteks sosial dan budaya. Hal ini akan sangat membantu siswa mengimplementasikan nilai-nilai luhur budayanya kedalam kegiatan kelas.
Bagaimanapun juga, untuk menjadikan keseluruhan hal tersebut berjalan dengan baik, harus merujuk kepada titik utamanya. Titik dimana para anak akan berada seiring tumbuh kembangnya. Hal tersebut dikenal dengan istilah Tripusat pendidikan, pendidikan di lingkungan keluarga sebagai dasar utama, pendidikan di sekolah sebagai pendukung dan penguat dan pendidikan di lingkungan masyarakat tempat bersosialisasi.
Refleksi dari Pengetahuan dan Pengalaman Baru
Jauh sebelum saya mempelajari modul terkait pemikiran KHD, saya masih menganggap murid sebagai wadah kosong yang harus saya isi dengan predikat ketuntasan sesuai tuntutan kurikulum. Saya masih menganggap KKM sebagai hal utama yang harus dicapai. Pola tabula rasa masih mendominasi kegiatan pembelajaran saya di kelas, sehingga kegiatan pembelajaran hanya sebagai kegiatan penyampaian ilmu yang saya miliki kepada para siswa (transfer knowledge). Meskipun sudah mengintegrasikan karakter dalam setiap pembelajaran itupun masih sebatas penilaian secara klasikal. Saya juga masih menjadi sosok yang disegani anak didik saya karena terlalu tegas dan keras dalam menerapkan aturan dan disiplin sekolah yang pada akhirnya menciptakan kondisi dimana anak-anak mengerjakan tugas dan berdisiplin karena rasa takut.
Setelah saya mempelajari modul pertama ini, banyak sekali hal-hal positif yang mampu membuka cakrawala pemahaman saya secara luas dan mendalam tentang bagaimana menjadi pendidik yang menuntun. Bagaimana anak harus diperlakukan berdasarkan potensi kodratnya dan bagaimana membangun ikatan emosional dengan anak melalui metode among. Terlebih lagi saya mulai menyadari bahwa dalam mengajar haruslah mampu menghargai sebuah proses, bahkan lebih tinggi dari sebatas target kurikulum. Saya menyadari bahwa anak tidak bisa dipaksa, karena akan tumbuh dengan tidak sehat secara emosional. Ibarat bunga di taman, yang tidak dapat dipaksakan untuk mekar secara bersamaan, tapi akan mekar pada waktunya masing-masing dan itulah sebuah proses.
Dengan ilmu dan pemahaman baru tersebut saya akan menerapkan pembelajaran yang benar-benar berpusat kepada siswa (student centered) dengan melibatkan seluruh keberagaman potensi yang mereka miliki. Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan nyaman bagi anak dalam berinteraksi dan berkolaborasi. Menjadi sosok yang lebih sabar dan bijak dalam melihat hal-hal yang berkaitan dengan masalah siswa dan menghargai segala proses yang terjadi sebagai bagian dari pembelajaran itu sendiri.
Super sekali Pak Yudi,pemahaman Anda dalam penerapan juga aksi nyata di modul 1.1 sangat tepat.Menciptakan pembelajaran yang menyenangkan,menganggap anak sebagai individu yang memiliki tempo dan potensi yang berbeda dan membutuhkan tuntunan yang tidak sama dari seorang 'Among'
BalasHapus