Photostory

                                                                                 
A FISH DIVER
Panubu,  Januari  2012

 Baharudin, itulah nama lengkapnya. Lahir dari keluarga sederhana dari orang tua yang berprofesi sebagai petani ladang di sebuah dusun pedalaman kecamatan Tarano, yang juga merupakan dusun paling timur dari wilayah kabupaten Sumbawa.
   Panubu, itulah dusun tempat dimana sekarang dia menghabiskan hari-harinya sebagai Guru di sebuah Sekolah Dasar. Dusun Panubu yang walau secara  geografis terletak di wilayah kabupaten Sumbawa, didiami oleh penduduk pendatang (suku Mbojo) dari kabupaten Dompu. Maka tak heran kemudian kalau Ifan, begitu sapaan akrabnya, belum terlalu lancar dan fasih berkomunikasi dalam bahasa Sumbawa.
       Menjadi seorang pendidik di sebuah sekolah negeri tak pernah sedikitpun terbersit di dalam alam fikirannya. Lebih-lebih sekolah tempat dimana sekarang dia mengajar, merupakan sebuah "sumur" kenangan tempat dimana dahulu dia bersama teman-temannya menghabiskan masa kecil mereka dalam menimba ilmu.
Jauh sebelum dia menjadi seorang Guru, pahit dan getir menjadi seorang anak petani ladang di sebuah dusun terpencil telah banyak mengisi kantung pengalaman hidupnya. Tak heran kemudian ketika hari libur atau suatu saat sepulang dari mengajar, untuk hanya sekedar mengisi waktu senggang, bapak yang sudah dikarunia dua orang anak ini berangkat ke laut mencari ikan. 
        Ya, berbekal keahlian menyelam, penyelam didikan alam inipun terjun mengarungi dinginnya udara laut teluk Cempi. Tak ada perlengkapan standar yang menemaninya dalam menyibak derasnya gelombang pantai selatan. Hanya kacamata selam dan senjata rakitan buatan sendiri, serta kemampuan dasar yang telah dilakoninya berulang-ulang dengan sepenuh hatilah yang membuatnya yakin akan keberuntungan dan rizki dari Sang Pencipta. 
      Malam itu tidaklah jauh berbeda dari malam-malam sebelumnya, beberapa ekor ikan hasil tangkapannya menjadi sebuah pelepas rasa penasaran kami akan harapan dan penantian yang telah lama menuggu di hangatnya hamparan pasir-pasir putih yang terbentang luas. Dengan langkah sedikit tergesa, sang maestro pun menghampiri kami yang telah berdiri menyambutnya di sekitar perapian, perapian yang terbentuk dari seonggok api unggun yang memang telah kami siapkan sebelumnya. Suara gemeretak gigi dari rahang yang menggigil pun tak ubahnya seperti teman yang baru ikut bergabung meramaikan suasana malam kami kala itu. Kami yakin bahwa itulah salah satu malam, dari berbagai malam yang kerap menjadi buah bibir dari pengalaman manis abadi, yang kami petik dan seterusnya kami bagi kepada keluarga-keluarga kami di rumah. Terima kasih teman, atas segala hari dan malam yang menyenangkan yang telah kau bagi kepada kami.
          Itulah secuil gambaran keseharian dari seorang putera Panubu, yang terlahir dengan bakat lepas hasil didikan alam bebas. Memang dia tinggal di pedalaman, tapi kami yakin bahwa suatu saat nanti orang-orang akan paham bahwa alamlah yang memberikan pengalaman yang terdalam. SEMANGAT!

Mr. Chan (spesialis sambal)
Mr. Ojiz (spesialis makan)





SEAWEED FARMER'S BOY
Panubu, Desember 2011

    Awal tahun 2010 yang lalu, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki saya di dusun Panubu desa Mata kecamatan Tarano. Tepatnya pada pertengahan bulan Maret, saya ditugaskan mengajar di sebuah sekolah menengah pertama pemerintah kabupaten Sumbawa.
  SMPN 4 Tarano satap, disitulah saya mendedikasikan sedikit ilmu yang saya miliki kepada siswa yang rata-rata adalah anak dari orang tua yang berprofesi sebagai petani dan nelayan. Berbeda halnya dengan anak-anak seusia mereka yang berdomisili di kota kabupaten ataupun kecamatan, yang kesehariannya dipenuhi dengan berbagai macam hiburan ataupun suguhan lain dari teknologi yang berkembang pesat saat ini.
   Anak-anak dusun Panubu tak lebih dari sekelompok anak-anak pedalaman yang masih menjadikan halaman-halaman depan rumah mereka sebagai tempat bermain dan bercengkrama dengan bebas. Berbagai macam permainan tradisional lokal seolah telah mengakar kuat di bumi Panubu, seolah-olah permainan modern dan serba canggih sekalipun, tak mampu menggeser atau bahkan mengikis keberadaannya.
       Gagal panen yang terjadi pada awal tahun 2010 akibat dari perubahan iklim yang berdampak pada curah hujan yang tidak menentu, mengakibatkan masyarakat dusun semakin dirundung malang. Perekonomian masyarakat semakin terpuruk, dikarenakan hasil ladang tak mampu memberi mereka jaminan akan persediaan makanan pokok untuk beberapa tahun, bahkan beberapa bulan kedepan. Lumbung padi yang biasanya sarat dengan hasil panen pun seolah semakin besar dan luas.
      Beruntung pada tahun yang sama, beberapa pengepul rumput laut liar datang memberikan sedikit harapan kepada warga, harapan akan kekayaan alam laut panubu dengan rumput laut liarnya. Awalnya warga belum sepenuhnya yakin akan keuntungan yang dihasilkan dari mengambil rumput laut liar, yang memang tumbuh lebat di perairan sekitar teluk cempi. Saat itu, harga yang begitu murah menjadi penyebab utama keengganan warga untuk beralih profesi sementara dari petani ladang menjadi petani rumput laut.
       Secara kasat mata, memang usaha, tenaga serta proses yang dilakukan dalam pencarian rumput laut hingga siap timbang, tidaklah sebanding dengan harga yang ditawarkan pembeli. Tapi apa boleh buat, karena untuk melanjutkan hidup, asap dapur harus tetap mengepul. Seiring dengan berjalannya waktu, bisnis kacaha begitu masyarakat panubu menyebutnya, semakin baik hari demi hari. Ditandai dengan harga yang boleh dibilang semakin sepadan dengan usaha yang dikeluarkan.
        Setiap harinya selepas subuh, warga panubu sudah mulai berkemas ke laut untuk memulai aktivitas yang masih tergolong baru ini. Dikarenakan sebelumnya mereka adalah petani ladang, maka tak semua warga memiliki sampan yang bisa digunakan untuk mengambil rumput laut ke tengah lautan. Tapi Tuhan maha pemurah, setiap harinya tidak sedikit rumput-rumput laut yang tergerus ombak hingga terdampar di bibir pantai. Rumput-rumput laut yang terbawa arus inipun tak dibiarkan mengambang lama oleh para ibu-ibu dan anak-anak yang menunggu di pinggir pantai dan tak ikut menyelam ke tengah laut.
      Menurut kabar, rumput-rumput laut yang telah terjual itu kemudia dikirim ke pabrik olahan kertas di pulau Jawa. Dikarenakan kebutuhan rumput laut liar oleh pabrikan-pabrikan olah industri di pulau jawa semakin meningkat, harga kacaha pun semakin hari semakin baik, apalagi dengan adanya persaingan harga diantara para pengepul, seakan membuat panasnya matahari serta dinginnya angin laut di malam hari terbayarkan.
       Satu hal kemudian yang membuat saya merasa bahwa kehidupan warga panubu menjadi unik adalah ketika dahulu mereka masih menjadi petani ladang, mereka mengalami gagal panen dikarenakan curah hujan yang sangat minim yang menyebabkan padi tidak mampu berkembang dengan baik. Kemudian entah mengapa hal ini menjadi lucu, karena kemudian ketika warga beralih profesi ke petani rumput laut, justru hujanlah yang menjadi musuh besarnya. Curah hujan yang tinggi akan berakibat pada lumpuhnya bisnis kacaha, dikarenakan rumput laut keringlah yang dibeli oleh para pengepul.





MAJALAH DINDING
Panubu, 03 Maret 2012

     Majalah dinding, atau yang lebih akrab disebut Mading, bukanlah sebuah barang baru bagi masyarakat luas, terlebih masyarakat intra sekolah yang memang memiliki beberapa kegiatan ekstra yang dikemas kedalam wadah kegiatan pengembangan diri.
   Untuk mereka yang bersekolah di wilayah yang mempunyai akses teknologi dan informasi, mungkin akan sangat mudah untuk mendapatkan referensi guna mengembangkan serta menuangkan sebuah opini atau informasi kedalam secarik kertas, yang kemudian dihias dan dikemas sedemikian rupa, sehingga menjadi karya seni yang bernilaikan informasi dan pengetahuan.
    Tapi tidak demikian halnya dengan sekolah tempat aku mengabdi. Dikarenakan tidak adanya akses teknologi dan informasi yang memadai, bahkan akses transportasi yang sangat tidak mendukung, menjadikan wilayah ini agak terbelakang dan terisolir dari dunia luar.
       Hal ini terbukti ketika suatu hari di sekolah, aku mengajukan saran kepada anak-anak kelas VII untuk membuat sebuah mading. Hal yang membuatku prihatin kemudian, seorang anak yang saat itu adalah ketua kelasnya mengacungkan tangan untuk bertanya mewakili teman-temannya,  karena saat itu sempat terjadi kasak-kusuk diantara siswa, setelah aku memberikan saran tersebut. Pikirku saat itu, anak tersebut akan menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan operasional pelaksanaan mading, seperti hari pembuatan, tema, susunan pengurus, seting layout dan lainnya. Tapi kemudian sebuah pertanyaan lugu dengan ekspresi penuh tanda tanya terlontar. " Pak..., apa itu mading?".
     Pertanyaan singkat tersebut sontak membuatku terperangah sesaat. Kemudian akupun berusaha untuk menjelaskan, bahwa mading merupakan kepanjangan dari kata Majalah Dinding, dengan harapan mungkin mereka sedikit akan mengerti atau mungkin pernah mendengar kata tersebut. Tapi yang terjadi memang tetap dan selalu diluar dugaanku. Mereka mendeskripsikannya secara harfiah dan sangat dangkal. Ada yang mengatakan bahwa majalah dinding adalah kegiatan dimana kita menempelkan majalah-majalah atau koran bekas di dinding. Mungkin jawaban tersebut sedikit memberi angin segar ke arah pengertian yang sebenarnya dan agak menenangkan, dibandingkan dengan jawaban dari siswa lain yang memberikan jawaban yang cukup ekstrem. Siswa tersebut dengan gaya menebak-nebak mengatakan bahawa mading adalah sebuah majalah yang terbuat dari dinding. GUBRAK...!! Dari situlah kemudian aku berniat     untuk merealisasikan menerbitkan sebuah karya mading pertama di bumi panubu.
   Oleh karena di wilayah tersebut tidak terdapat toko atau kios tempat membeli barang-barang untuk keperluan mading, aku berinisiatif untuk menyiapkan semuanya ketika pulang ke rumah di Sumbawa Besar pada hari libur.
     Selanjutnya, setelah semua bahan-bahan tersebut siap, mading tersebut aku kerjakan bersama anak-anak sepulang sekolah. Saat itu, aku melihat kegembiraan dan keseriusan di mata siswa-siswiku, ketika mereka menggunting atau menempelkan potongan-potongan kertas warna-warni ke papan layout yang terbuat dari tempelan kardus-kardus berkas. Jauh hari sebelumnya aku sudah memotret anak-anak satu persatu, untuk kemudian aku edit dan print out sehingga menjadi bagian dari desain mading. Ini aku lakukan untuk membuat anak-anak merasa bangga dan senang, dikarenakan foto-foto mereka juga terpampang di kelas. Dan dengan harapan, mading edisi pertama tersebut bisa memancing kreativitas siswa untuk kedepannya.
      "Katak dalam tempurung", mungkin pepatah yang sangat tepat diberikan kepada murid-murid pedalaman seperti mereka. Mereka tumbuh dan mengenal dunia secara perlahan-lahan, dari jendela-jendela rumah gubuk yang menampilkan lukisan kesederhanaan dalam balutan serba kekurangan. Ketika mereka keluar, mereka hanya dihadapkan pada sebuah pintu rutinitas yang kemudian menginstitusi mereka pada keadaan yang hanya mereka rasakan sehari-hari dalam selubung keterbatasan dari campur tangan dunia luar.
     Tetap semangat anak-anakku. Kalian adalah masa depan, walaupun untuk dunia yang kalian ciptakan sendiri. Kalaupun suatu saat nanti aku tak bisa menatap masa depan bersama kalian, ingatlah! bahwa majalah dinding ini pernah menjadi miniatur semangat akan bukti keterikatan kita, bahwa kita pernah menciptakan masa depan kita bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar